Post Top Ad

Post Top Ad

Minggu, 29 Januari 2017

Tradisi Dugderan

2.1 Sejarah Tradisi Dugderan
Sudah sejak lama umat Islam berbeda pendapat dalam menentukan hari dimulainya bulan Puasa, masing-masing pihak biasanya ingin mempertahankan kebenarannya sendiri-sendiri, hal tersebut sering menimbulkan beberapa penentuan kapan dimulainya puasa, dan hal ini mendapat perhatian yang lebih. Maka dari itu, pada tahun 1881 dibawah Pemerintah Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat yang merupakan Adipati untuk pertama kalinya memberanikan diri menentukan mulainya hari puasa, yaitu setelah Bedug Masjid Agung dan Meriam di halaman Kabupaten Kota Semarang dibunyikan masing-masing tiga kali. Sebelum membunyikan bedug dan meriam tersebut, diadakan upacara dihalaman Kabupaten.
Adanya upacara Dug Der tersebut makin lama makin menarik perhatian masyarakat Semarang dan sekitarnya, menyebabkan datangnya para pedagang dari berbagai daerah yang menjual bermacam-macam makanan, minuman dan mainan anak-anak seperti yang terbuat dari tanah liat ( Celengan, Gerabah), mainan dari bambu ( Seruling, Gangsingan), mainan dari kertas (Warak Ngendog). Kata Dugderan yang merupakan nama upacara ini, berasal dari kata “Dug” yang diasumsikan sebagai suara bedug yang dipukul sehingga menghasilkan suara Dug..Dug.., dan kata “Der” yang diasumsikan sebagai suara meriam.

2.2 Makna Tradisi Dugderan
Berdasarkan data empirik dan data literature yang ada, makna simbolik dari upacara ini mulai dapat diterjemahkan secara operasional, data literature yang diperoleh diasumsikan sudah dapat mewakili sebuah sumber yang terpercaya karena diterbitkan oleh pemerintah Kota Semarang sebagai referensi pariwisata Kota Semarang. Terbentuknya sebuah pola kegiatan upacara tradisional dengan segala tahapan dan pendukungnya ternyata sudah ada sejak lama ( berdasar literatur : sejak tahun 1881 ). Tahapan ini diakhiri dengan pemukulan bedug dan membunyikan meriam sebagai tanda bagi umat muslim bahwa esok hari kegiatan puasa di bulan Ramadhan sudah dapat mulai dilaksanakan.
Jadi tahapan pemukulan bedug dan membunyikan meriam ini dapat dikatakan sebagai inti dari kegiatan upacara tradisional ini yaitu sebagai tanda dimulainya puasa bulan Ramadhan.
Namun, upacara adat ini juga dapat dimaknai sebagai kegiatan untuk menjalin tali silaturahmi antara warga Kota Semarang maupun warga Kota Lain, atau bahkan negara lain yang datang untuk menyaksikan kegiatan ini, dan juga silaturahmi dengan Pemerintah Kota. Selain itu, pada masa sekarang, upacara adat ini juga digunakan sebagai sarana promosi Kota Semarang karena sudah dijadikan salah satu aset pariwisata budaya Kota Semarang.
Sehingga, upacara tradisional yang pada awalnya hanya bermakna sebagai tanda awal bulan puasa / Ramadhan, kini memiliki makna lain yang tidak menghilangkan makna awal, yakni sebagai sarana silaturahmi, wisata budaya, dan sarana promosi Kota Semarang.
2.3 Proses Pelaksanaan Dugderan
Proses dudgeran diawali pembacaan suhuf hasil halaqoh ulama dan penabuhan beduk oleh Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat yang diperankan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi. Dari sejarahnya, suhuf itu merupakan hasil keputusan ulama-ulama yang sudah berkumpul di Masjid Kauman Semarang melakukan rukyatul hilal untuk menetapkan awal Ramadhan atau dimulainya bulan puasa. Prosesi pembacaan suhuf, penabuhan beduk disertai dentuman meriam, pembagian kue ganjel rel, dan air hataman Alquran akan dilaksanakan setelah shalat Maghrib.
Prosesi dilanjutkan penyerahan suhuf halaqah dari Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purbaningrat kepada Raden Mas Tumenggung Probohadikusumo yang diperankan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Penyerahan suhuf halaqoh dari Wali Kota Semarang kepada Gubernur Jateng, kata Masdiana, dilakukan di Masjid Agung Jawa Tengah, dilanjutkan pembacaan, penabuhan beduk, dan seterusnya oleh Gubernur Jateng. Pembacaan suhuf halaqah ini bukan sebagai penentu awal puasa. Namun hanya upacara untuk melestarikan tradisi. Untuk penentuan awal Ramadhan, tetap menunggu keputusan pemerintah.
Karnaval budaya dugderan terbagi dua, yakni karnaval budaya anak-anak TK, SD, MI, SMP, dan MTs yang diikuti sekitar 8.000 peserta dimulai pukul 06.00-11.00 WIB. Rute karnaval budaya ini dari Lapangan Simpanglima-Jalan Pahlawan-Taman Keluarga Berencana (KB). Masing-masing unit pelaksana teknis dinas (UPTD) pendidikan kecamatan menampilkan atraksi. Sementara, karnaval dari Balai Kota menuju Masjid Kauman Semarang dan MAJT Semarang akan dilaksanakan sore hingga malam hari. Pesertanya terdiri dari perwakilan organisasi kemasyarakatan, seperti NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), perwakilan SMA, SMK, dan organisasi kepemudaan.



2.4 Tujuan Diadakannya Dugderan
Tradisi dugderan yang biasa diselenggarakan di Kota Semarang tepatnya di masjid Kauman Semarang pada beberapa hari menjelang bulan Ramadhan ini selain bertujuan untuk melestarikan budaya yang masih ada dan masih melekat pada masyarakat Kota Semarang, juga bertujuan untuk memberitahukan bahwa tanggal 1 bulan Ramadhan yang merupakan bulan suci bagi umat islam akan jatuh pada keesokan harinya setelah ditetapkan oleh beberapa ulama dan ditandai dengan pemukulan bedug dan membunyikan meriam masing-masing sebanyak tujuh kali. Selain tujuan tersebut, tradisi dugderan pun diselenggarakan untuk mempererat tali silaturahmi khususnya antarwarga Kota Semarang, maupun masyarakat umum yang ikut berpartisipasi dalam acara dugderan tersebut serta silaturahmi antara warga dengan para wakil rakyat Kota Semarang. Sedangkan jika dilihat dari nilai ekonomi, pasar rakyat yang terdapat pada acara dugderan tersebut dapat digunakan warga terutama pedagang untuk mengais rezeki. Selain itu, tradisi dugderan juga dapat menjadi ajang promosi Kota Semarang.
2.5 Pesan Moral Yang Dapat Diambil
Pada awalnya, upacara tradisional ini hanya mengandung nilai keagamaan, dan kebudayaan. Nilai keagamaan dapat terlihat pada makna dan tujuan awal upacara tradisional ini, yakni sebagai penanda awal bulan Ramadhan yang merupakan bulan suci umat muslim, sedangkan nilai kebudayaan terlihat dari pengiring upacara berupa budaya dan kesenian jawa seperti gamelan. Namun pada masa sekarang, seiring dengan kemajuan pola pikir manusia, upacara tradisional ini memiliki nilai yang lebih, diantaranya pada nilai sosial, sebagai sarana silaturahmi antarwarga, serta silaturahmi antara warga dengan Pemerintah. Sedangkan dari nilai pendidikan, tradisi dugderan ini dapat menjadi motivasi bagi bagi masyarakat pada umumnya untuk lebih memantapkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT, serta bagi anak-anak acara dugderan ini dapat dijadikan sebagai motivasi agar lebih semangat dalam menjalankan setiap ibadah terutama dalam hal ini adalah menjalankan ibadah Puasa di bulan Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar