Post Top Ad

Post Top Ad

Senin, 23 Januari 2012

Perjuangan Panjang dan Mahal Bangsa Indonesia Mencapai Persatuan dan Kesatuan

tadi Tentang Sumpah PEMUDA Sekarang saya share tentang Perjuangan bangsa Indonesia Dan Rencana pembangunan . . . . . . . . .


Langsung aja


Usaha bangsa Indonesia mencapai Persatuan Bangsa, Kesatuan Negara, dan Keutuhan Nusantara telah melewati jangka waktu yang sangat panjang. Setelah mengalami penjajahan Belanda selama lebih dari tiga abad, menjelang akhir abad ke 19 timbul kesadaran bahwa bangsa Indonesia yang bercerai berai dengan mudah dapat di adu-domba satu sama lain yang tidak memungkinkan tercapainya cita-cita untuk memerdekakan bangsa. Dengan lahirnya Boedi Oetomo tahun 1908, Kebangkitan Nasional Indonesia mulai bersemi, khususnya tentang pentingnya unsur pendidikan bagi usaha-usaha mencapai kemerdekaan, kemajuan dan kemakmuran. Kebangkitan Kebangsaan tersebut kemudian melahirkan Kesadaran Politik yang menghimpun segala kemampuan rakyat dan golongan melalui Partai Politik, baik yang bersifat keagamaan, nasionalisme, maupun sosialisme. Diperlukan waktu 20 tahun sejak munculnya rasa Kebangkitan Nasional 1908 untuk dapat melahirkan rasa Kesatuan Kebangsaan dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 yang menyatakan tekad rakyat Indonesia untuk hidup sebagai Satu Bangsa, dalam Satu Tanah Air, dengan satu bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia.

Perjuangan politik Bangsa Indonesia yang dijiwai oleh Sumpah Pemuda 1928 tersebut memerlukan waktu 17 tahun lagi untuk mencapai Proklamasi Kemerdekaan yang pada dasarnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia yang telah bangkit dan bersatu itu ingin dan bertekad untuk hidup dalam Satu Negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di proklamasikan tahun 1945. NKRI 1945 itu ditopang dan dijiwai oleh semangat Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan, prinsip Bhineka Tunggal Ika dengan semangat musyawarah dan mufakat disertai tradisi gotong royong. Diperlukan pula waktu lebih dari 4 tahun dalam perang kemerdekaan yang mengorbankan jiwa raga dan harta benda bangsa yang tidak sedikit untuk memperjuangkan pengakuan dunia internasional terhadap Negara Indonesia tersebut yang baru tercapai setelah Konferensi Meja Bundar di Denhaag tahun 1949, 40 tahun setelah kebangkitan bangsa 1908.
NKRI yang lahir tahun 1945 itu pernah mengalami tantangan dari semangat federalis yang didalangi oleh kekuatan kolonial melalui Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang umurnya tidak lebih dari setahun dan yang kemudian ditinggalkan oleh bangsa Indonesia karena dijiwai oleh kepentingan colonial yang menentang berdirinya NKRI.
Dalam tahun 1950 Indonesia kembali kepada Negara Kesatuan. Tetapi dengan system pemerintahan yang bersifat parlementer. Sementara itu, Republik Indonesia mengalami pula pergantian-pergantian UUD antara lain melalui UUD RIS (1949-1950) dan UUD RI 1950 (1950-1959), dan kembali lagi ke UUD 1945 pada tahun 1959, yaitu 50 tahun sejak Kebangkitan Nasional 1908. Sejarah memperlihatkan bahwa Republik Indonesia dengan jiwa demokrasi parlementer sejak 1950 tidak mampu membawa kestabilan di dalam negeri. Pemerintah silih berganti dengan koalisi partai politik yang berubah-rubah, pertentangan ideologi tetap berlanjut disertai pertentanganĂ‚­-pertentangan yang disebabkan oleh rasa keagamaan dan rasa kedaerahan yang berlebihan, sementara kekuatan asing tetap mengintai untuk melihat agar Indonesia tetap terpecah belah, sedangkan perjuangan mengembalikan Irian Barat (kini Papua) kepangkuan NKRI tetap mengalami kemacetan.
Sementara itu, Indonesia mulai merasakan bahwa salah satu faktor dari sulitnya mengembangkan Persatuan Bangsa dan Kesatuan Negara tersebut adalah komposisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang diselingi oleh laut-laut yang luas. Pada mulanya, sesuai dengan ketentuan Hukum Internasional pada waktu itu dirumuskan oleh negara-negara kolonial, kedaulatan Indonesia di laut hanyalah sampai tiga mil laut dari pantai masing-masing pulau. Dengan demikian maka laut-laut antar pulau Indonesia dianggap sebagai laut bebas yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja dan negara mana saja, termasuk ruangnya dan kekayaan alamnya, dan dalam beberapa hal malah juga dimanfaatkan untuk mengadu-domba dan memisahkan bangsa Indonesia dari satu pulau kepulau lainnya demi untuk dapat menguasai bangsa Indonesia tersebut.
Barulah dalam bulan Desember 1957 Pemerintah Indonesia menyadari dan mengumumkan bahwa Sumpah Pemuda 1928 yang menyatakan tekad bangsa Indonesia untuk hidup dalam Satu Tanah Air tersebut harus berarti bahwa laut-laut yang terletak antara pulau-pulau Indonesia tanpa memperhatikan lebarnya dan dalamnya haruslah di manfaatkan untuk memperkuat rasa satu Kebangsaan dan satu Kenegaraan Indonesia. Laut harus berfungsi sebagai pemersatu Bangsa dan Negara, bukan sebagai pemisah pulau dan pemecah belah Bangsa dan Negara.
Deklarasi Nusantara Indonesia 1957 tersebut mendapat protes dan tantangan dari berbagai-bagai negara didunia. Deklarasi tersebut pada dasarnya menekankan bahwa satu kesatuan Tanah Air Indonesia itu haruslah terdiri dari Kesatuan Wilayah antara darat dengan laut, termasuk dasar laut dan tanah dibawahnya, udara diatas darat dan lautnya, serta seluruh kekayaan yang terdapat didalamnya.
Diperlukan waktu 25 tahun bagi usaha-usaha diplomasi Indonesia untuk memperjuangkan agar konsepsi kesatuan Negara Nusantara/Kepulauan tersebut mendapat pengakuan dunia Internasional di dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Setelah itu diperlukan waktu 12 tahun lagi untuk membuat Konvensi Hukum Laut PBB 1982 tersebut berlaku secara Internasional dalam bulan November 1994.
Kini, kita sedang merayakan 100 tahun Kebangkitan Nasional 1908 dan 80 tahun sejak Sumpah Pemuda untuk mencapai satu Kesatuan Bangsa, Tanah Air, dan Bahasa, 63 tahun sejak Proklamasi Kemerdekaan, dan 51 tahun sejak Deklarasi Nusantara 1957. Jika diingat mulai sejak perjuangan pahlawan bangsa sebelum 1908, mulai dari Teuku Umar di Aceh sampai ke Pattimura di Maluku, maka perjuangan bangsa yang sangat panjang untuk mencapai dan memperkokoh persatuan Bangsa, kesatuan Kenegaraan, dan kesatuan Kewilayahan tersebut merupakan 3 tiang utama Indonesia. Ketiga tiang utama inilah yang selalu mendapat tantangan dan grogotan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, baik di masa lalu maupun dewasa ini. Hal ini antara lain disebabkan oleh masih minimnya kesadaran bangsa terhadap peran laut sebagai pemersatu bangsa. Berbagai usaha meningkatkan kesatuan bangsa dan Negara melalui perhubungan darat, laut, udara dan telekomunikasi telah dilakukan dengan tingkat hasil-hasil yang berbeda. Dewasa ini usaha-usaha pemersatu bangsa dan perkembangan ekonomi mulai pula dibangun melalui jembatan dan terowongan-terowongan, malah bukan hanya dalam suatu Negara tetapi juga antar negara dan antar benua.
Beberapa Negara di dunia sudah lama memulai proyek-proyek besar seperti ini demi untuk mempererat rasa persatuan bangsa dan negaranya, memperlancar perhubungan, pembangunan ekonomi, pemerintahan, pertahanan, dan lain-lain. Amerika Serikat sudah banyak membangun jembatan yang sangat panjang untuk mempermudah dan mengefisiensikan perekonomiannya. China baru selesai membangun jembatan terpanjang di dunia yang kabarnya lebih dari 40 KM. Denmark dan Swedia sudah lama membangun jembatan melalui selat strategis yang memisahkan kedua Negara tersebut. Turki sudah selesai membangun jembatan melintasi selat Bosporus yang memisahkan benua Eropa dengan benua Asia. Perancis dan Inggris telah membangun terowongan di bawah Selat Dover yang menghubungkan kedua Negara tersebut. Malah Vietnam pun baru saja selesai membangun jembatan yang sangat panjang dan tinggi di Halong Bay untuk mempercepat pembangunan ekonomi di utara Vietnam dan yang menghubungkan Hanoi melalui jalan raya ke China dan terus ke pantai timur dan pedalaman China. Sementara Suez Canal yang panjangnya ratusan kilometer telah digali untuk menghubungkan Laut Tengah dengan Laut Merah dan Samudera Hindia sejak abad 19 yang lalu. Di kawasan kita sudah lama ada cita-cita besar untuk membangun Kra Canal melalui Thailand Selatan untuk menghubungkan laut Andaman dengan teluk Siam dan laut Cina Selatan terus ke Jepang dan Asia Timur untuk menghadapi semakin padatnya selat Malaka dan selat Singapura. Malah akhir-akhir ini sudah pula terdengar suara-suara untuk membangun jembatan dan terowongan melintasi selat Malaka melalui pulau Rupat dan Malaka untuk menghubungkan Malaysia dengan Sumatera agar dengan demikian perokonomian Sumatera (dan Indonesia) dapat terkait erat dengan perkembangan ekonomi di Asia Tenggara dan China.
Disinilah terletak arti strategis yang sangat penting dari Jembatan Selat Sunda. Pemerintah propinsi Lampung dan Banten sudah menandatangani kesepakatan untuk membangun jembatan tersebut. Berbagai-bagai segi teknis, ekonomis, hukum, dan lain-lainnya dewasa ini sedang giat dipelajari. Presiden SBY sendiri sudah memberikan dorongannya dan para Menteri terkait juga sudah mendukung rencana tersebut. Pembangunan JSS bukanlah hal yang gampang, murah ataupun mudah dilakukan dalam waktu sekejap mata. Pembangunan tersebut akan memakan waktu bertahun-tahun, dukungan modal yang sangat besar, serta ketekunan dari para anak bangsa untuk mendukung dan merealisirnya. Para pemuka bangsa sebelum 1908 dan sesudahnya mempunyai visi masa depan yang tangguh terhadap kesatuan bangsa, negara dan kewilayahan Indonesia, dan bersedia berjuang dan berkorban untuk tujuan-tujuan besar tersebut. Dalam rangka memperingati 100 tahun Kebangkitan Bangsa, 80 tahun Sumpah Pemuda, 63 tahun Kemerdekaan Indonesia, dan 51 tahun Deklarasi Djuanda, saya percaya bahwa bangsa Indonesia dan para pemimpinnya sekarang ini tidak kehilangan semangat juang, visi jangka panjang, berpikir besar, dan rasa berbakti, berjuang, dan berkorban untuk kepentingan satu bangsa, satu negara, dan satu tanah air, yaitu Indonesia. Pembangunan Jalan tol dalam kota Jakarta antara Cawang- Tanjung Priok, Jembatan Tiga sampai ke Grogol pada dasarnya adalah jembatan.
Semoga bangsa Indonesia, khususnya generasi sekarang dan generasi yang akan datang tidak akan melupakan perjuangan bangsa yang panjang ini dan tidak kembali terpecah belah dalam semangat golongan dan kedaerahan yang sempit, yang dengan mudah akan dapat di manfaatkan oleh kepentingan-kepentingan yang tidak menginginkan Persatuan Bangsa, Kesatuan Negara dan Kesatuan Kewilayahan dalam NKRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar